Senin, 27 Maret 2017

lupa dan jenuh dalam belajar (psikologi pendidikan)

A.    Transfer Belajar
Pengetahuan dan keterampilan siswa sebagai hasil belajar pada masa lalu seringkali mempengaruhi proses belajar yang sedang dialaminya sekarang. Inilah yang disebut transfer dalam belajar.
Transfer dalam belajar yang lazim disebut transfer belajar (transfer of learning) itu mengandung arti pemindahan keterampilan hasil belajar dari satu situasi kesituasi lainnya (Rebeer 1988). Kata “pemindahan keterampilan” tidak berkonotasi hilangnya keterampilan melakukan sesuatu pada masa lalu karena diganti dengan keterampilan baru pada masa sekarang. Oleh sebab itu, definisi diatas harus difahami sebagai pemindahan pengaruh atau pengaruh keterampilan melakukan sesuatu terhadap tercapainya keterampilan melakukan sesuatu lainnya.
Peristiwa pemindahan pengaruh (transfer) sebagaimana tersebut diatas pada umumnya atau hampir selalu membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap aktivitas dan hasil pembelajaran materi pelajaran atau keterampilan lain. Sehingga, transfer dapat dibagi dua kategori, yakni transfer positif dan transfer negatif.
Menurut Theory of Identical Element yang dikembangkan oleh E.L. Thorndike (lihat teori koneksionisme pada bab III subbab E), Transfer positif biasanya terjadi apabila ada kesamaan elemen antara materi yang lama dengan materi yang baru. Contoh: seorang siswa yang telah menguasai matematika akan mudah mempelajari statistika. Contoh lain yang lebih gamblang ialah kepandaian mengendarai sepedah membuat orang mudah belajar naik sepeda motor.
Sebaliknya, orang yang terbiasa mengetik dengan menggunakan dua jari, kalau belajar mengetik dengan sepuluh jari akan lebih banyak mengalami kesukaran daripada orang yang baru belajar mengetik. Pengalaman kesukaran inilah yang disebut transfer negatif. Artinya, keterampilan yang sebelumnya sudah dimiliki menjadi penghambat belajar keterampilan lainnya. Dapatkah teori E.L Thorndike ini kita jadikan pedoman dalam memahami transfer belajar yang hakiki?[1]
1.      Ragam Transfer Belajar
Selanjutnya, menurut Gagne (baca: Gaenye) seorang education psychologist (pakar psikologi pendidikan) yang masyhur, transfer dalam belajar dapat digolongkan kedalam empat kategori, yaitu: 1) Transfer positif, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar; 2) transfer negatif, yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar; 3) transfer vertikal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/ keterampilan yang lebih tinggi; 4) transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/ keterampilan yang sederajat.
Penjelasan lebih lanjut mengenai aneka ragam transfer baik dari Thorndike maupun dari Robert M.Gagne tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini.
a.       Transfer Positif
      Transfer positif dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila guru membantu untuk belajar dalam situasi tertentu yang mempermudah siswa tersebut belajar dalam situasi-situasi lainnya. Dalam hal ini, transfer positif menurut Barlow (1985) adalah learning in one situation helpful in other situations, yakni belajar dalam suatu situasi yang dapat membantu belajar dalam situasi-situasi lain.
b.      Transfer Negatif
      Transfer negatif dapat dialami seorang siswa apabila ia belajar dalam situasi tertentu yang memiliki pengaruh merusak terhadap keterampilan/pengetahuan yang dipelajari dalam situasi-situasi lainnya. Pengetahuan ini diambil dari Education Psychology: The Teaching-Learning Process oleh Daniel Lenox Barlow (1985) yang menyatakan bahwa transfer negatif itu berarti, learning in one situation has a damaging effect in other situations.
Dengan demikian, pengaruh keterampilan atau pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa sendiri taka ada hubungannya dengan kesulitan yang dihadapi siswa tersebut ketika mempelajari pengetahuan atau keterampilan lainnya. Jadi, kesulitan belajar mengetik sepuluh jari seperti yang dicontohkan diatas belum tentu disebabkan oleh kebiasaan mengetik dua jari yang sebelumnya sudah dikuasai. Menghadapi kemungkinan terjadinya transfer negatif itu, yang penting bagi guru ialah menyadari dan sekaligus menghindarkan para siswanya dari situasi-situasi belajar tertentu yang diduga keras akan berpengaruh negatif terhadap kegiatan belajar para siswa tersebut pada masa yang akan datang.
c.       Transfer Vertikal
      Transfer vertikal (tegak lurus) dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila pelajaran yang telah dipelajari dalam situasi tertentu membantu siswa tersebut dalam menguasai pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi atau rumit. Misalnya, seorang siswa SD yang telah menguasai prinsip penjumlahan dan pengurangan pada waktu menduduki kelas II akan mudah mempelajari perkalian pada waktu dia menduduki kelas III. Sehubungan dengan hal ini, penguasaan materi pelajaran kelas IImerupakan prerequisite (prasyarat) untuk mempelajari materi pelajaran kelas III.
Agar memperoleh transfer vertikal, guru sangat dianjurkan untuk menjelaskan kepada para siswa secara eksplisit mengenai faedah materi yang sedang diajarkannya bagi kegiatan belajar materi lainnya yang lebih kompleks. Upaya ini penting sebab kalau siswa tidak memiliki alasan yang benar mengapa ia harus mempelajari materi yang sedang diajarkan gurunya itu (antara lain untuk transfer vertikal), mungkin ia tak akan mampu memanfaatkan materi tadi untuk mempelajari materi lainnya yang lebih rumit. Padahal, learning in one situation allows mastery of more complex skills in other situations (Barlow, 1985) yang berarti bahwa belajar dalam situasi memungkinkan siswa menguasai keterampilan-keteranpilan yang lebih rumit dalam situasi yang lain.
d.      Transfer Lateral
      Transfer lateral (kearah samping) dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila ia mampu menggunakan materi yang telah dipelajarinya untuk mempelajari materi yang sama kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain. Dalam hal ini, perubahan waktu dan tempat tidak mengurangi mutu hasil belajar siswa tersebut. 
Contoh: seorang lulusan STM yang telah menguasai teknologi “X” dari sekolahnya dapat menjalankan mesin tersebut di tempat kerjanya. Di samping itu, ia juga mampu mengikuti pelatihan menggunakan teknologi mesin-mesin lainnya yang mengandung elemen dan kerumitan yang kurang  lebih sama dengan mesin “X” tadi. Alhasil, transfer lateral itu dapat dikatakan sebagai gejala wajar yang memang sangat diharapkan baik oleh pihak pengajar maupun pihak pelajar. Namun, idealnya hasil belajar siswa tidak hanya dapat digunakan dalam konteks kehidupan yang sama rumitnya dengan belajar, tetapi juga dapat digunakan dalam konteks kehidupan yang lebih kompleks dan penuh persaingan.
2.      Terjadinya Transfer Belajar Positif
Di atas telah penyusun uraikan secukupnya mengenai arti transfer positif dan signifikansinya bagi kegiatan belajar siswa. Namun, bagaimanakah sebenarnya transfer positif itu terjadi dalam diri siswa? Benarkah siswa akan mudah mempelajari materi “Y” karena mengandung unsur yang identik dengan materi “X” yang telah dikuasainya?
Transfer positif, seperti yang telah diutarakan di muka, akan mudah terjadi pada diri seorang siswa apabila situasi belajarnya dibuat sama atau mirip dengan situasi sehari-hari yang akan ditempati siswa tersebut kelak dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah ia pelajari di sekolah. Transfer positif dalam pengertian seperti inilah sebenarnya yang perlu diperhatikan guru, mengingat tujuan pendidikan secara umum adalah terciptanya sumber daya manusia berkualitas yang adaptif. Kualitas inilah yang seyogianya didapat dari lingkungan pendidikan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, setiap lembaga kependidikan terutama jenjang pendidikan menengah, perlu menyediakan kemudahan-kemudahan belajar, seperti alat-alat dan ruang kerja yang akan ditempati siswa kelak setelah lulus. Apabila cara itu sulit ditempuh, alternatif lain dapat diambil umpamanya on the job training, yaitu mengadakan praktik lapangan di tempat-tempat kerja seperti kantor, sekolah, pabrik, kebun dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan jurusan dan keahlian yang dimilikinya.
Sementara itu menurut teori yang dikembangkan Thorndike, seperti yang telah penyusun singgung di muka,transfer positif hanya akan terjadi apabila dua materi pelajaran memiliki kesamaan unsur. Teori kesamaan unsur ini telah memberi pengaruh besar terhadap pola pengembangan kurikulum di Amerika Serikat beberapa puluh tahun yang lalu (Cross, 1974).
Hal-hal lain seperti kesamaan situasi dan benda-benda yang digunakan untuk belajar sebagaimana tersebut dalam teori Gagne, tidak dianggap berpengaruh. Untuk memperkuat asumsinya, Thorndike memberi contoh, jika anda telah memecahkan masalah, geometri (ilmu ukur) yang mengandung sejumlah huruf tertentu sebagai petunjuk, maka ... you would not be able to transfer a geometry problem with a different set of letter (Anderson, 1990). Anda tak dapat menstransfer kemampuan memecahkan masalah geometri itu untuk memecahkan masalah geometri lainnya yang menggunakan huruf yang berbeda.
Dalam perspektif psikologi masa kini, mekanisme transfer positif ala Thormdike yang telah terlanjur diyakini, banyak pakar itu ternyata hanya isapan jempol belaka. Singley & Anderson (1989) dan Anderson (1990) misalnya sangat meragukan teori yang menganggap transfer sebagai peristiwa spontan dan mekanis (asal ada kesamaan elemen) seperti yang diyakini orang selama ini. Keraguan itu timbul karena para ahli kognitif (cognitivists) telah banyak menemukan peristiwa transfer positif yang sangat mencolok antara kedua keterampilan yang memiliki unsur yang sangat berbeda, namun memiliki struktur logika yang sama.
Berdasarkan hasil-hasil riset kognitif antara lain seperti di atas, Anderson (1990) yakni bahwa transfer positif hanya akan terjadi pada diri seorang siswa apabila dua wilayah pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari siswa tersebut menggunakan dua fakta dan pola yang sama, dan membuahkan hasil yang sama pula. Dengan kata lain, dua domain pengetahuan tersebut merupakan sebuah pengetahuan yang sama.
Jadi, orang yang menduga bahwa seorang siswa yang telah pandai membaca Al-Quran akan secara otomatis mudah belajar bahasa Arab karena ada kesamaan elemen (sama-sama bertulisan arab) perlu dipertanyakan. Namun, seorang siswa yang pandai dalam seni baca Al-Quran (qori) sangat mudah dia belajar tarik suara (menyanyi), karena dalam dua wilayah keterampilan itu terdapat kesamaan struktur logika, yakni logika seni. Demikian pula halnya dengan siswa yang sudah menguasai bahasa dan sastra Indonesia, ia mungkin akan mudah menjadi seorang pengarang. Sekali lagi, mudahnya siswa tersebut menjadi pengarang bukan karena adanya kesamaan elemen, melainkan karena antara penguasaan bahasa dan sastra dengan aktivitas mengarang itu terdapat “benang merah” yang muncul dari struktur logika pengetahuan yang sama.
Sesungguhnya transfer itu merupakan peristiwa kognitif (ranah cipta/akal) yang terjadi karena belajar. Jadi, belajar dalam hal ini seyogianya dipandang sebagai keadaan sebelum transfer atau prasyarat adanya transfer. Dengan demikian, anggapan bahwa transfer itu spontan dan mekanis (seperti mesin atau robot) sebenarnya berlawanan dengan hakikat belajar itu sendiri, yakni perbuatan siswa yang sedikit atau banyak selalu melibatkan aktivitas ranah kognitif.
Bagaimana pula halnya dengan transfer negatif yang sering dikhawatirkan orang itu? Transfer negatif, menurut Anderson (1990) dan Lawson (1991) tak perlu dirisaukan lantaran sangat jarang terjadi. Kesulitan belajar siswa yang selama ini diduga terjadi karena adanya transfer negatif, sebenarnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Sebab, sementara ini gangguan konflik (interference) antara ingatan fakta dalam memori manusia hampir tak pernah terjadi atau mengganggu perolehan keterampilan baru. Alhasil, kesulitan belajar yang dialami siswa mungkin disebabkan oleh faktor-faktor antara lain seperti yang dibahas segera setelah pembahasan ini usai.
Sebagai contoh akhir pembahasan ini, perlu diutarakan beberapa contoh peristiwa belajar yang secara lahiriah tampak seperti transfer tetapi sesungguhnya bukan. Contoh-contoh ini penting untuk diketahui agar siswa dan guru tidak terkecoh oleh timbulnya sesuatu yang baru dan baik sebagai sesuatu yang sedang diharapkan, yakni transfer positif.
Pertama, seorang siswa yang telah berkemampuan menulis dengan mengguanakan tangan kanan, lalu suatu saat dia mampu juga menulis dengan tangan kirinya. Kejadian seperti ini sama halnya dengan kemampuan seorang siswa memantul-mantulkan bola dengan tengan kanannya, kemudian ternyata siswa itu mampu juga memantul-mantulkan bola dengan tangan kirinya walaupun tanpa latihan khusus. Peristiwa-peristiwa seperti ini tampaknya seperti transfer karena kemampuan tangan kanan seakan-akan memberi pengaruh pada munculnya kemampuan tangan kirinya, padahal bukan transfer. Peristiwa-peristiwa tadi hanya merupakan bukti bahwa perilaku belajar itu bersifat organik, yakni melibatkan keseluruhan organ-organ tubuh, termasuk organ otak, meskipun siswa tadi tidak tampak memikirkan bagaimana cara memantulkan bola dengan tangan kirinya. Peristiwa yang tampak seperti transfer tadi juga lazim disebut cross education, yakni pendidikan silang (Winkel, 1991).
Kedua, seorang anak SD yang mengenal huruf  “U” dalam kata ‘gula’ suatu saat dapat pula mengenal huruf tersebut dalam kata ‘guru’ atau ‘madu’ dan sebagainya. Seorang siswa SMP yang telah menguasai sebuah rumus dalam matematika, kemudian mampu menyelesaikan soal-soal matematika yang berhubungan dengan rumus yang telah dikuasainya itu. Kasus yang terjadi pada anak SD tadi bukan transfer, melainkan peristiwa penerapan hasil belajar perseptual belaka. Sementara itu, kasus siswa SMP tadi merupakan kasus penerapan kemampuan yang telah ia peroleh sebelumnya. Jadi, keduanya bukan transfer.[2]
3.      Text Box: MODEL PEMROSESAN INFORMASITransfer dari Short-term Memory ke Long-term Memory

Text Box: Stimulus dari LingkunganText Box: RECEPTOR

Down Arrow: kerusakanDown Arrow: Kerusakan dan gangguanDown Arrow: lupa
 











Keterangan
Alat indra mengirimkan informasi ke register indrawi untuk disimpan sebentar. Informasi tersebut diberi ‘arti’ melalui perhatian dan persepsi. Setelah diubah menjadi kode-kode, informasi tersebut kemudian masuk ke dalam ingatan jangka pendek. Tempat penyimpanan di sini terbatas; informasi hanya tinggal sebentar, informasi itu digunakan dan hilang kecuali diulang-ulang. Informasi yang disimpan untuk diingat kembali dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada dan karenanya disimpan di dalam ingatan jangka panjang, suatu tempat penyimpanan ingatan yang tetap.[3]
Perbedaan Ingatan Jangka Pendek-Ingatan Jangka Panjang[4]
Jenis-jenis ingatan
input
kapasitas
Maintenance
Retrieval
Jangka pendek
sangat cepat
Terbatas
Sangat sebentar
Segera/cepat
Jangka panjang
Relatif lambat
Praktis dan tak terbatas
Praktis dan tak terbatas
Tergantung pada penyusunan
Memori (ingatan) jangka pendek (short term memory/working memory) dan memori jangka panjang (long term memory/permanent memory). Ingatan jangka panjang dan jangka pendek merupakan sub-sub sistem memori yang berperan amat penting dalam proses belajar pengetahuan declarative dan non-declarative atau procedural. Bagaimana seharusnya siswa memindahkan informasi dan pengetahuan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang? Menurut Sternberg (2006) banyak kiat yang satu sama lain saling berkaitan dan secara psikologis dapat membantu transfer pengetahuan dari memori jangka pendek (sementara) ke memori jangka panjang (permanen), antara lain: consolidation, metamemory, dan rehearsal.
Menurut Muhibbin Syah, kiat-kiat kognitif di atas dapat diharapkan memperbesar jumlah sel otak yang aktif sehingga dapat meningkatkan daya mental yang pada gilirannya akan berdampak terhadap peningkatan kualitas psikis-akal. Asumsi ini didasarkan pada temuan-temuan sejumlah penelitian psikologi kognitif (Larson, 2006) yang menyimpulkan bahwa semakin banyak sel otak (The Physical Cells of Brain), maka akan semakin meningkat pula kualitas akal (Quality of The Mind). Oleh karena itu, para siswa harus kita dorong untuk selalu belajar atau bekerja dengan menggunakan nalar atau pikiran (sesederhana apapun) agar sel-sel yang terdapat di dalam otak mereka tetap sehat dan aktif.
Consolidation. Dalam melakukan konsolidasi, siswa hendaknya mengintegrasikan pengetahuan/informasi baru dengan pengetahuan/informasi yang sebelumnya telah ada dalam ingatan atau memori. Dalam hal ini, item pengetahuan yang baru dipelajari atau sedang dipelajari dicarikan kaitan atau hubungannya dengan butir-butir pengetahuan sejenis yang telah tersimpan dalam memori.
Metamemory. Dalam meningkatkan keberhasilan konsolidasi diperlukan adanya metamemory strategy. Metamemory secara sederhana berarti diatas atau diluar kelaziman memori dan ia merupakan salah satu komponen metacognition. Strategi metamemory dapat berupa mnemonic devices yakni bermacam-macam alat rekayasa akal.
Rehearsal. Hafalan atau menghafal (rehearsal) baik secara overt (atau dengan suatu suara keras) atau secara covert (tersembunyi atau terdengar) merupakan salah satu cara yang baik dalam mempertahankan informasi dan pengetahuan dalam memori. Strategi ini berhubungan dengan mnemonic devices seperti method of loci dan keyword system. Namun, sebuah hafalan tidak dapat bertahan lama, bahkan mungkin tidak berarti, apabila tidak disertai dengan pemahaman yang memadai mengenai item pengetahuan yang dihafalkan tersebut. Oleh karena itu, dalam rehearsal diperlukan adanya upaya memahami arti, signifikansi, dan relevansi item yang dihafalkan itu dengan item-item lainnya.[5]
B.     Lupa dan Kejenuhan Belajar
Pada bagian ini akan dibahas hal-hal pokok mengenai lupa dalam belajar yang meliputi: 1) faktor-faktor penyebab lupa; 2) kiat mengurangi lupa. Selain itu, gejala negatif yang akan dibahas pada bagian ini secara singkat adalah masalah kejenuhan belajar.
1.      Peristiwa lupa dalam belajar
Dari pengalaman sehari-hari, kita memiliki kesan seakan-akan apa-apa yang kita alami dan kita pelajari tidak seluruhnya tersimpan dalam akal kita. Padahal, menurut teori kognitif apapun yang kita alami dan kita pelajari, kalau memang sistem akal kita mengolahnya dengan cara yang memadai, semuanya akan tersimpan dalam sub-sistem akal permanen kita. Akan tetapi, kenyataan yang kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu. Acapkali terjadi, apa yang telah kita pelajari dengan tekun justru sukar diingat kembali dan mudah terlupakan. Sebaiknya, tidak sedikit pengalaman dan pelajaran yang kita tekuni sepintas lalu mudah melekat dalam ingatan.
Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari. Secara sederhana Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami dengan demikian, lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
Dapatkah lupa dalam belajar siswa diukur secara langsung? Wittig (1981) menyimpulkan berdasarkan penelitiannya, peristiwa lupa yang dialami seseorang tak mungkin dapat diukur secara langsung. Sering terjadi, apa yang dinyatakan telah terlupakan oleh serorang siswa justru ia katakan. Untuk memperjelas hal ini, perhantikan contoh berikut.
Jika anda meminta penjelasan kepada seorang siswa, Dinny misalnya, mengenai materi pelajaran tertentu dengan perintah: “Dinny, katakan semua yang telah  kau lupakan mengenai pelajaran itu” kemudian Dinny menyebutkan hampir seluruh bagian pelajaran tersebut. Lupakah Dinny akan materi pelajaran itu? Jawabnya, tentu tidak. Sebab, perintah anda sesungguhnya telah mengungkapkan apa-apa yang dia ingat. Hal lain yang tak dapat ia katakan (yang sedikit itu) itulah yang terlupakan olehnya.
Apakah sesungguhnya yang menyebabkan sisswa anda lupa akan sebagian materi yang telah anda ajarkan? Pada umumnya orang percaya bahwa lupa terutama disebabkan oleh lamanya tenggang waktu antara saat terjadinya proses belajar sebuah materi dengan saat pengungkapannya. Namun berdasarkan hasil-hasil penelitian, ternyata anggapan seperti itu nyaris tak terbukti.
a.       Faktor-faktor penyebab lupa
Pertama, lupa dapat terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa. Dalam interference theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1) proactive interference; 2) retroactive interference (Reber, 1988; Best, 1989; Anderson, 1990).
Seorang siswa akan mengalami gangguan proaktif apabila materi pelajaran lama yang sudah tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang sangat mirip dengan mata pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru saja dipelajarinya akan sangat sulit atau diproduksi kembali.
Sebaliknya, seorang siswa akan mengalami gangguan rekroaktif apabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap pemanggilan kembali materi pelajaran lama yang terlebih dahulu tersimpan dalam subsistem akal permanen siswa tersebut. Dalam hal ini, materi pelajaran lama akan sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran lama itu.
Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada baik sengaja ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan, yaitu:
1)      Karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan dan sebagainya) yang diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dangan sengaja menekannya hingga ke alam ketidaksadaran.
2)      Karena sistem informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada, jadi sama dengan fenomena retroaktif.
3)      Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah dipergunakan.
Itulah pendapat yang didasarkan pada repression theory yakni teori represi/penekanan (Reber, 1988). Namun, perlu ditambahkan bahwa istilah “alam ketidaksadaran” dan “alam bawah sadar” seperti tersebut diatas, merupakan gagasan Sigmund Frued (baca: Sigmen Froid), bapak psikologi analisis yang banyak mendapat tantangan, baik dari lawan maupun kawannya itu.
Ketiga, lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dan waktu mengingat kembali (Anderson, 1990). Jika seorang siswa hanya mengenal atau mempelajari hewan jerapah atau kuda nil lewat gambar-gambar nya disekolah misalnya, maka kemungkinan ia akan lupa menyebut nama hewan-hewan tadi ketika melihatnya dikebun binatang.
Keempat, lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu. Jadi, meskipun seorang siswa telah mengikuti proses mengajar-belajar dengan tekun dan serius, tetapi karena sesuatu hal sikap dan minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti karena ketidak sadaran kepada guru) maka materi pelajaran itu akan mudah terlupakan.
Kelima, menurut law of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang tidak disukai tidak pernah digunakan atau dihafal siswa. Menurut asumsi sebagian ahli, materi yang diperlukan demikian dengan sendirinya akan masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan pelajaran baru.
Keenam, lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa yang terserang penyakit tertentu seperti keracunan, kecanduan alkohol, dan gegar otak akan kehilangan ingatan atas item-item informasi yang ada dalam memori permanennya.
Meskipun penyebab lupa itu banyak aneka ragamnya, yang paling penting diperhatikan para guru adalah faktor pertama yang meliputi gangguan proaktif dan retroaktif, karena didukung oleh hasil riset dan eksperimen. Mengenai faktor keenam tentu saja semua orang maklum.
Kecuali gangguan proaktif dan retroaktif, ada satu lagi penemuan baru yang menyimpulkan bahwa lupa dapat dialami seorang siswa apabila sistem informasi yang ia serap rusak sebelum masuk ke memori permanenya. Item yang rusak (decay) itu tidak hilang dan dapat diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi telalu lemah untuk dipanggil kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin disebabkan karena tenggang waktu (delay) antara saat diserapnya sistem informasi dengan saat proses pengkodean dan transformasi dalam memori jangka pendek siswa tersebut (Best, 1989; Anderson, 1990).
Apakah materi pelajaran yang terlupakan oleh siswa benar-benar hilang dari ingatan akalnya? Menurut pandangan para ahli psikologi kognitif, “tidak!” Materi pelajaran itu masih terdapat dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu lemah untuk dipanggil atau diingat kembali. buktinya banyak siswa yang mengeluh “kehilangan ilmu”, setelah melakukan relearning teaching (belajar lagi) atau mengikuti remedial teaching (pengajaran perbaikan) ternyata dapat menunjukkan kinerja akademik sebelumnya. Hal ini bermakna bahwa relearning dan remedial teaching berfungsi memperbaika atau menguatkan item-item informasi yang rusak atau lemah dalam memori para siswa tersebut, sehingga mereka berhasil mencapai prestasi yang memuaskan.
b.      Kiat Mengurangi Lupa Dalam Belajar
Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat siswa. Dapat banyak ragam kiat dapat dicoba siswa dalam meningkatkan daya ingatannya, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988) dan Anderson (1990) adalah sebagai berikut.
Overlearning
Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melibihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Overlearning terjadi apabila respon atau reaksi tertentu muncul setelah siswa mempelajari respon tersebut dangan cara diluar kebiasaan. Banyak contoh yang dapat dipakai untuk overlearning, antara lain pembacaan teks Pancasila pada setiap hari senin dan Sabtu memungkinkan ingatan siswa terhadap materi PPKN lebih kuat.
Extra Study Time
Extra study time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi (kekerapan) aktifitas belajar. Penambahan alokasi waktu belajar materi tertentu berarti siswa menambah waktu belajar, misalnya dari satu jam menjadi satu setengah jam. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu. Misalnya dari satu hari sekali menjadi dua kali sehari. Kiat ini dipandang cukup strategis karena dapat melindungi memori dari kelupaan.
Mnemonic Device
Mnemonic device (muslihat memori) yang sering juga hanya disebut mnemonic itu berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukan item-item informasi kedalam sistem akal siswa. Muslihat mnemonic ini banyak ragamnya, tetapi yang menonjol adalah sebagai mana yang terurai dibawah ini.
Rima (Rhyme), yakni sajak yang dibuat sedemikian rupa yang isinya terdiri atas kata dan istilah yang harus di ingat siswa. Sajak ini akan lebih baik pengaruhnya apabila diberi not-not sehingga dapat dinyanyikan. Nyanyian anak-anak TK yang berisi pesan-pesan moral dapat diambil sebagai contoh penyusunan rima mnemonik.
Singkatan, yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah yang harus di ingat siswa. Contoh jika seorang siswa hendak mempermudah mengingat nama Nabi Adam as, Nuh as, Ibrahim as, dan Musa as dapat menyingkatnya dengan ANIM. Pembuatan singkatan seyogianya dilakukan sedemikian rupa sehingga menarik dan memiliki kesan tersendiri.
Sistem kata pasak (pag word system), yakni sejenis teknik mnemonic yang menggunakan komponen-komponen yang sebelumnya telah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait memori baru. Kata komponen pasak ini dibentuk berpasangan seperti merah-saga, panas-api, kata-kata ini berguna untuk mengingat kata dan istilah yang memiliki watak yang sama seperti : darah, lipstik ; pasangan langit dan bumi; neraka, dan kata/istilah lain yang memiliki kesamaan watak (warna, rasa dan seterusnya).
Metode Losai (method of loci), yaitu kiat mnemonic yang menggunakan tempat-tempat khusus dan terkenal sebagai saran penempatan kata dan istilah tertentu yang harus diingat oleh siswa. Kata “loci” sendiri jamak dari kata “locus” artinya tempat. Dalam hal ini, nama-nama kota, jalan, gedung terkenal dapat dipakai untuk menempatkan kata dan istilah yang kurang lebih relevan dalam arti memiliki kemiripan ciri dan keadaan. Contoh: nama ibu kota Amerika Serikat untuk mengingat nama presiden pertama Negara itu (George Washington); dan gedung bundar untuk mengingat nama jaksa agung indonesia. Apabila guru memerlukan siswa menyebut nama-nama tadi, ia dapat menyuruh siswa tersebut tersebut “berpergian” ke tempat-tempat tersebut.
Sistem kata kunci (key word system). Kiat mnemonic yang satu ini relatif tergolong baru dibanding dengan kiat-kiat mnemonic lainnya. Kiat ini mula-mula dikembangkan pada tahun 1975 oleh dua orang pakar psikologi, Raugh dan Atkinson (Barlow, 1985). Sistem kata kunci biasanya direkayasa secara khusus untuk mempelajari kata dan istilah asing. Dan konon untuk efektif untuk pengajaran bahasa asing. Inggris misalnya, sistem ini berbentuk daftar kata yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut : 1) Kata-kata Asing; 2) Kata-kata kunci, yakni kata-kata bahasa lokal yang paling kurang suka pertamanya memiliki suara/lafal yang mirip dengan kata yang dipelajari; 3) Arti-arti kata asing tersebut.
Untuk mempelajari kiat mnemonic tadi, penyusun buatkan sebuah daftar contoh dalam tabel selanjutnya.
Selanjutnya untuk memperlancar pelafalan (pronounciation) kosakata diperlukan adanya guru atau pelatih sekurang-kurangnya menggunakan kamus representatif baik kamus Inggris-Inggris ataupun Indonesia-Inggris dan Inggris Indonesia.
Pengelompokan
Maksud kiat pengelompokan (clustering) ialah menata ulang item-item materi menjadi kelompok-kelompok kecil yang dianggap lebih logis dalam arti bahwa item-item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip. Penataan/pengelompokan ini direkayasa sedemikian rupa dalam bentuk item-item materi seperti:



Contoh mnemonic sistem kata kunci di bawah.
Kata inggris
Kata kunci
Arti
Astute
Astuti
Cerdik/lihai
Butteflly
Baterai
Kupu-kupu
Chaos
Kaos
Kekacauan
Difficult
Dipikul
Sukar
Eyesight
Aisyah
Penglihatan
Gamble
Gembel
Berjudi
a)      Daftar 1 terdiri atas nama-nama negara yang serumpun: indonesia, malaysia, Brunei dan seterusnya;
b)      Daftar 2 terdiri atas singkatan-singkatan lembaga-lembaga negara : DPA, DPR, MPR, dan seterusnya;
c)      Daftar 3 terdiri atas singkatan-singkatan nama-nama badan internasional: ILO, IMF, WHO, dan sebagainya.
Latihan terbagi
Lawan latihan terbagi (distributed practice) adalah latihan terkumpul (massed practice) yang sudah dianggap tidak efektif karena mendorong siswa melakukan cramming. Dalam latihan terbagi siswa melakukan latihan-latihan dengan alokasi waktu yang pendek dan dipisah-pisahkan diantara waktu-waktu yang istirahat. Upaya demikan dilakukan untuk menghindari cramming, yakni belajar banyak materi secara tergesa-gesa dalam waktu yang singkat. Dalam melaksanakan distributed practice, siswa dapat menggunakan berbagai metode dan strategi belajar yang efisien, misalnya hukum Jost.
Pengaruh letak bersambung
Untuk memperoleh efek positif dari pengaruh letak bersambung (the serial position effect). Siswa dianjurkan menyusun daftar kata-kata (nama, istilah dan sebagainya) yang diawali dan di akhiri dengan kata-kata yang harus di ingat. Kata-kata yang harus diingat siswa tersebut sebaiknya ditulis dengan menggunakan huruf dan warna yang mencolok agar tampak sangat berbeda dari kata-kata yang lainnya yang tidak perlu diingat. Dengan demikian kata yang ditulis pada awal dan akhir daftar tersebut memberi kesan tersendiri dan diharapkan melekat erat dalam subsistem akal permanen siswa.
Selanjutnya, apa yang dapat anda lakukan (sebagai guru dan calon guru) dalam mengurangi kelupaan siswa? Ada beberapa cara yang dapat ditempuh guru dalam menanggulangi kemungkinan terlupakannya materi pelajaran yang disajikan kepada mereka.
Pertama, cobalah timbulkan atau tingkatkan motivasi belajar para siswa dengan menyandarkan mereka akan tujuan instruksional yang harus mereka capai. Hal ini dapat anda lakukan, misalnya dengan menjelaskan manfaat materi pelajaran bagi kehidupan masa depan mereka seraya memberi contoh konkret orang-orang yang tidak beruntung lantaran tidak memiliki pengetahuan yang anda ajarkan itu.
Kedua, cobalah selalu menunjukkan unsur-unsur pokok sebelum menunjukkan unsur-unsur penunjang yang relevan dalam materi pelajaran yang anda sajikan. Dalam hal ini anda dianjurkan untuk mendemostrasikan dengan alat-alat peraga yang tersedia atau memberi tanda khusus pada kata atau istilah pokok yang tertulis pada papan tulis dengan kapur warna merah, hijau, atau warna lainnya yang kontras.
Ketiga, cobalah anda selalu menyajikan pokok bahasan materi yang berkaitan dengan pokok bahasan pada sesi sebelumnya dan relevan dengan pokok bahasan materi yang akan disajikan pada sesi berikutnya. Langkah ini penting anda tempuh, sebab kesinambungan antara pokok bahasan yang satu dengan yang lainnya itu dapat mempermudah proses pengolahan materi bahasan tersebut dalam sistem akal para siswa.
Keempat, jika anda menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan materi yang telah anda sajikan kepada seorang siswa, sebaiknya anda memperhatikan hal-hal seperti di bawah ini.
a)      Pertanyaan seyogianya disampaikan dengan cara akrab dan tidak menegangkan, tetapi wibawa anda perlu tetap terjaga.
b)      Pertanyaan seyogianya jelas, singkat, dan tidak mengandung bermacam-macam tafsiran.
c)      Pertanyaan seyogianya hanya mengandung satu masalah agar siswa dapat memusatkan proses sistem akalnya dalm mencari respons.
d)     Pertanyaan hendaknya tidak hanya mendorong siswa untuk menjawab “Ya” atau “Tidak” sebab dapat menghambat kreativitas akalnya.
e)      Jika seorang siswa tidak mampu, anda tidak perlu mendesaknya, sebab ia akan kehilangan muka dan ingatannya menjadi kacau.
f)       Segeralah anda tawarkan pertanyaan yang tak terjawab itu kepada siswa-siswa lainnya agar siswa yang tak mampu menjawab tadi dapat mengambil pelajaran dari kawannya sendiri.
g)      Jika seorang siswa berhasil menjawab pertanyaan, berilah pujian dan senyuman seperlunya tanpa harus bersikap melecehkan siswa yang gagal menjawab pertanyaan anda.[6]
2.      Masalah Ingat dan Lupa
Ada hal-hal yang kita ingat dan ada hal yang kita lupakan. Bahkan ada yang menyebut kenyataan ini sebagai pola dasar kehidupan mental kita. Mengapa kita lupa? Kemampuan kita menyimpan informasi luar biasa, tetapi mengapa kita lupa? Hilangnya informasi dari ingatan jangka pendek disebabkan oleh dua hal: pertama gangguan, kedua waktu. Mengingat hal-hal yang baru mengganggu mengingat hal-hal yang lama. Pada satu saat tertentu, kemampuan ingatan jangka pendek yang terbatas itu penuh dengan informasi-informasi baru sehingga hilanglah informasi-informasi yang lama. Informasi juga hilang dari ingatan jangka pendek karena usangnya waktu. Semakin lama informasi di dalam ingatan jangka pendek semakin lemahnya dia dan akhirnya hilang lenyap tak berbekas.
Informasi yang hilang dari ingatan jangka pendek itu benar-benar lenyap. Tetapi informasi yang tersimpan di dalam ingatan jangka panjang tidak pernah hilang dan selalu dapat diingat kembali asalkan kondisinya tepat. Freud pernah menyatakan bahwa kadang-kadang secara sengaja kita melupakan atau menekan informasi atau pengetahuan tertentu yang tidak ingin kita ingat-ingat. Tetapi hal ini tidak dapat menjelaskan mengapa pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan teringat dan terbayang-bayang secara jelas sedangkan pengalaman-pengalaman lain yang menyenangkan atau yang netral justru dilupakan. Lalu apalagi yang menyebabkan munculnya masalah-masalah dalam ingatan jangka panjang itu?
Bahwa gangguan itu menyebabkan terjadinya lupa baik dalam ingatan jangka panjang maupun ingatan jangka pendek, ditunjang oleh hasil-hasil penelitian yaitu bahwa informasi-informasi yang baru dapat membingungkan informasi-informasi yang lama, apalagi kalau yang lama sifatnya kabur. Apabila informasi-informasi yang baru menyulitkan orang untuk mengingat kembali informasi-informasi yang lama, hal itu disebut gangguan retroaktif atau inhibisi retroaktif, sedangkan apabila informasi-informasi yang lama menyukarkan orang untuk mengingat kembali informasi-informasi yang baru, hal itu dinamakan gangguan proaktif atau inhibisi proaktif.
Anggapan bahwa gangguan itu menyebabkan lupa tidaklah bertentangan dengan pendapat bahwa kita sebenarnya tidak pernah melupakan hal-hal yang tersimpan di dalam ingatan jangka panjang. Gangguan itu tidak terjadi dalam ingatan jangka pendek itu sendiri; barangkali gangguan itu terjadi ketika informasi diingat dan dibawa kembali ke ingatan jangka pendek. Jadi masalahnya terletak pada proses mengingat kembali.
Bagaimana kita mengingat?
Mengingat yang baik itu sesungguhnya berupa suatu proses pemecahan masalah yang menggunakan logika, tanda-tanda dan pengetahuan lainnya untuk merekonstruksi informasi dan mengisi bagian-bagian yang tercecer atau hilang. Kadang-kadang informasi yang direkonstruksi itu tidak cermat dan tidak benar sebab yang diingat kembali bukanlah kata-kata yang harfiah tetapi maknanya, tetapi makna ini pada umumnya sudah mengalami perubahan sesuai dengan sudut pandang atau latar belakang budaya seseorang, atau dengan perkataab lain sesuai dengan skemata yang dimilikinya. (skemata adalah struktur dasar untuk menyusun informasi).
Terkadang, informasi yang kita ingat itu hanya sebagian saja yang benar. Contoh; anda sedang mencari buku dan berkata: “Saya tahu buku itu sampulnya berwarna biru dan tulisannya berwarna putih”. Ketika buku itu diketemukan, memang benar tulisannya putih tetapi sampulnya berwarna merah muda. Barangkali saja dulu memang anda tidak begitu memperhatikan warnanya atau mungkin dulu warna buku itu tidak anda camkan secara benar; mungkin juga anda kacau dengan buku lain yang anda baca pada satu waktu, atau mungkin juga warna buku itu anda camkan secara benar, tetapi kodenya tidak pernah mencapai ingatan jangka panjang anda. Dengan begitu informasi yang anda ingat hanyalah sebagian saja.
Kadang-kadang kita mencoba mengingat sesuatu dari ingatan jangka panjang kita dan merasa seolah-olah kita “hampir mengingatnya”, tetapi kita tidak dapat mengingat betul apa yang ingin kita ingat. “Hampir ingat” ini disebut juga gejala ujung lidah (tip of the tongue phenomenon). (Brown & Mc Nail, 1966)[7]  
3.      Peristiwa Jenuh dalam Belajar
a.       Definisi Jenuh
Secara harfiah, arti jenuh ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apa pun. Selain itu, jenuh juga dapat berarti jemu atau bosan. Dalam belajar, di samping siswa sering mengalami kelupaan, ia juga terkadang mengalami peristiwa negatif lainnya yang disebut dengan jenuh belajar yang dalam bahasa psikologi lazim disebut dengan learning plateau atau plateau (baca; pletou) saja. peristiwa jenuh ini kalau dialami seorang siswa yang sedang dalam proses belajar (kejenuhan belajar) dapat membuat siswa tersebut merasa telah membubazirkan usahanya.
Kejenuhan belajar ialah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil (Reber, 1988). Seorang siswa yang mengalami kejenuhan belajar merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidak ada kemajuan. Tidak adanya kemajuan hasil belajar ini pada umumnya tidak berlangsung selamanya, tetapi dalam rentang waktu tertentu saja, misalnya seminggu. Namun tidak sedikit siswa yang mengalami rentang waktu yang membawa kejenuhan itu berkali-kali dalam satu periode belajar tertentu.
Seorang siswa yang sedang dalam keadaan jenuh sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan dalam memproses item-item informasi atau pengalaman baru, sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan “jalan di tempat”. Apabila bentuk kurva, yang akan tampak adalah garis mendatar yang lazim disebut plateau. Kejenuhan belajar dapat melanda seorang siswa yang kehilangan motivasi dan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum sampai pada tingkat keterampilan berikutnya.
b.      Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kejenuhan Belajar
Kejenuhan belajar dapat melanda siswa apabila ia telah kehilangan motivasi dan kehilangan konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum siswa tertentu sampai pada tingkat keterampilan berikutnya (Chaplin, 1972). Selain itu, kejenuhan juga dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai pada batas kemampuan jasmaniahnya karena bosan (boring) dan keletihan (fatigue). Namun, penyebab kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang melanda siswa, karena keletihan dapat menjadi penyebab munculnya perasaan bosan pada siswa yan bersangkutan.
Menurut Cross (1974) dalam bukunya The Psychology of Learning, keletihan siswa dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yakni: 1) keletihan indera siswa; 2) keletihan fisik siswa; 3) keletihan mental siswa. Keletihan fisik dan keletihan indera -dalam hal ini mata dan telinga- pada umumnya dapat dikurangi atau dihilangkan lebih mudah setelah siswa beristirahat cukup terutama tidur nyenyak dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Sebaliknya, keletihan mental tak dapat diatasi dengan cara yang sesederhana cara mengatasi keletihan-keletihan lainnya. Itulah sebabnya, keletihan mental dipandang sebagai faktor utama penyebab munculnya kejenuhan belajar.
Apakah yang menyebabkan siswa mengalami keletihan mental (mental fatigue)? Sedikitnya ada empat faktor penyebab keletihan mental siswa yakni:
1)      Karena kecemasan siswa terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh keletihan itu sendiri;
2)      Karena kecemasan siswa terhadap standar/patokan keberhasilan bidang-bidang studi tertentu yang dianggap terlalu tinggi terutama ketika siswa tersebut sedang merasa bosan mempelajari bidang-bidang studi tadi.
3)      Karena siswa berada ditengah-tengah situasi kompetitif yang ketat dan menuntut lebih banyak kerja intelek yang berat;
4)      Karena siswa mempercayai konsep kinerja akademik yang optimum, sedangkan dia sendiri menilai belajarnya sendiri hanya berdasarkan ketentuan yang ia bikin sendiri (self-imposed).
Selanjutnya, keletihan mental yang menyebabkan munculnya kejenuhan belajar itu lazimnya dapat diatasi dengan menggunakan kiat-kiat antara lain sebagai berikut:
1)      Melakukan istirahat dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi dengan takaran yang cukup;
2)      Pengubahan atau penjadwalan kembali jam-jam dari hari-hari belajar yang dianggap lebih memungkinkan siswa belajar lebih giat;
3)      Pengubahan atau penataan kembali lingkungan belajar siswa yang meliputi pengubahan posisi meja tulis, lemari, rak buku, alat-alat perlengkapan belajar dan sebagainya sampai memungkinkan siswa merasa berada di sebuah kamar baru yang lebih menyenangkan untuk belajar;
4)      Memberikan motivasi dan stimulasi baru agar siswa merasa terdorong untuk belajar lebih giat daripada sebelumnya;
5)      Siswa harus berbuat nyata (tidak menyerah atau tinggal diam) dengan cara mencoba belajar dan belajar lagi.[8]
C.    Motivasi Belajar
1.      Definisi Motivasi Belajar
Motivasi dapat diartikan sebagai: (1) Dorongan yang timbul pada diri seseorang, secara disadari atau tidak disadari, untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; (2) Usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang ingin dicapai. Dari dua definisi motivasi di atas, menjadi jelas bahwa motivasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) Motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang. Motivasi jenis ini seringkali disebut dengan motivasi intrinsik. Misalnya: seorang siswa, tanpa disuruh oleh siapa pun, setiap malam membaca buku pelajaran yang esok harinya akan dijelaskan oleh gurunya. (2) Motivasi dari luar yang berupa usaha pembentukan dari orang lain. Motivasi jenis ini seringkali disebut motivasi ekstrinsik. Misalnya: seseorang siswa yang biasanya kurang rajin belajar menjadi rajin belajar karena gurunya menjanjikan kepada siapa saja yang memperoleh nilai terbaik pada mata pelajaran yang diajarnya akan diberikan mushaf al-Quran yang sangat indah.
Mengapa seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu kegiatan? Abraham Maslow mengatakan bahwa seseorang termotivasi karena memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam contoh di atas, siswa yang pertama termotivasi karena ingin berprestasi pada setiap mata pelajaran yang dia tempuh sehingga selalu berusaha membaca buku di malam hari pada mata pelajaran esoknya yang akan diajarkan oleh guru.
Motivasi belajar adalah dorongan yang timbul pada diri siswa, secara disadari atau tidak disadari, untuk melakukan suatu pembelajaran dengan tujuan tertentu. Terkait mengenai kejenuhan belajar yang dapat terjadi dalam diri anak didik maka perlu adanya usaha pendidik untuk mengatasi kejenuhan belajar tersebut. Kejenuhan belajar dapat diatasi dengan melakukan berbagai pendekatan dan memberikan motivasi. Sikap yang tepat yang diberikan pendidik dalam mengatasi kejenuhan belajar siswa dapat menjadikan suatu pembelajaran yang efektif.
2.      Motivasi dalam Pembelajaran di Kelas
Secara alami, motivasi siswa sesungguhnya berkaitan erat dengan keinginan siswa untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Motivasi sangat diperlukan bagi terciptanya pembelajaran di kelas secara efektif. Motivasi memiliki peranan yang sangat penting dalam pembelajaran, baik dalam proses maupun dalam pencapaian hasil. Seorang siswa yang memiliki motivasi tinggi, pada umumnya mampu meraih keberhasilan dalam proses maupun output pembelajaran.
Ada sejumlah indikator untuk mengetahui siswa yang memiliki motivasi dalam proses pembelajaran, di antaranya:
a)      Memiliki gairah yang tinggi
b)      Penuh semangat
c)      Memiliki rasa penasaran atau rasa ingin tahu yang tinggi
d)     Mampu “jalan sendiri” ketika guru meminta siswa mengerjakan sesuatu
e)      Memiliki rasa percaya diri
f)       Memiliki daya konsentrasi yang lebih tinggi
g)      Kesulitan dianggap sebagai tantangan yang harus dihadapi
h)      Memiliki kesabaran dan daya juang yang tinggi.
Jika indikator-indikator ini yang muncul dan berkembang dalam proses pembelajaran di kelas, maka guru akan merasa lebih mudah dan antusias dalam menyelenggarakan proses pembelajarannya.
Namun demikian, keadaan yang sebaliknya juga sangat boleh jadi kita temukan. Artinya, ada sejumlah siswa termotivasi rendah. Ada sejumlah indikator siswa yang memiliki motivasi rendah ini, yaitu:
a)      Perhatian terhadap pelajaran kurang
b)      Semangat juangnya rendah
c)      Mengerjakan sesuatu merasa seperti diminta membawa beban berat
d)     Sulit untuk bisa “jalan sendiri” ketika dierikan tugas
e)      Memiliki ketergantungan kepada orang lain
f)       Mereka bisa jalan kalau sudah “dipaksa”
g)      Daya konsentrasi kurang. Secara fisik mereka berada dalam kelas, tapi pikirannya mungkin berada di luar kelas
h)      Mereka cenderung menjadi pembuat kegaduhan
i)        Mudah berkeluh kesah dan pesimis ketika menghadapi kesulitan.
3.      Pengembangan Motivasi Subjek Didik Melalui “Latihan Motivasi Diri”
Pengembangan motivasi belajar subjek didik, selain dilakukan melalui upaya secara langsung oleh guru, dapat juga dilakukan oleh siswa itu sendiri dengan menggunakan “Model Latihan Motivasi Diri” (Self-motivation Training Model). Model ini dikembangkan berdasarkan “Teknik Pantau Diri” (Self-monitoring) dari Cormier dan Cormier. Dengan menggunakan Latihan Motivasi Diri, siswa dituntut secara aktif mengembangkan motivasi belajarnya sendiri melalui aktivitasnya sendiri dan memantaunya sendiri.
Mengembangkan motivasi belajar dengan menggunakan model Latihan Motivasi Diri ini ada enam kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa, yaitu:
a)      Mengembangkan motivasi intrinsik
b)      Memantau motivasi ekstrinsik
c)      Mendepskripsikan kegiatan
d)     Memantau dan medepskripsikan kemajuan kegiatan
e)      Memilih mentor
f)       Membuat kesimpulan
Semua kegiatan tersbeut dilakukan secara mandiri oleh siswa dengan menggunakan “Format Pantau Diri” (Self-monitoring log) yang harus dikerjakan, diisi, dan dilaporkan oleh siswa. Oleh karena itu, kegiatan latihan memotivasi diri ini menuntut keaktifan siswa dan kejujuran terhadap diri sendiri. sebab, jika siswa tidak aktif dan tidak jujur terhadap diri sendiri, maka tidak akan memperoleh keberhasilan dalam memotivasi dirinya.[9]
4.      Pengertian Needs dan Drives terkait dengan motivasi
a.       Definisi “Needs
Needs” menerangkan kecenderungan yang relatif permanen dalam diri seseorang yang termotivasi dengan cara-cara tertentu, dan kita mengetahuinya dari tingkah lakunya untuk mencapai tujuan. Kebutuhan (needs) itu timbul atau diaktifkan baik oleh perubahan-perubahan internal maupun kejadian-kejadian stimulus di alam sekitar.
b.      Definisi “Drive
Drive ialah suatu kondisi neurofisiologis yang timbul, yaitu perubahan di dalam struktur neurofisiologis seseorang yang menjadi dasar  organik bagi perubahan tenaga yang disebut “motivasi”. Secara sederhana Drive serupa dengan dorongan atau penggerak.[10]



[1] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan. 2013. Halaman: 164-165
[2] Muhibbin Syah. Psikologi Belajar. 2009. Halaman: 160-167
[3] Dimyati Mahmud. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Terapan. 1990. Halaman: 131-132
[4] Ibid. halaman: 134
[5] Muhibbin Syah. Psikologi Belajar. 2009. Halaman: 167-169
[6] Ibid. Halaman: 169-180
[7] Dimyati Mahmud. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Terapan. 1990. Halaman: 136-138

[8] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan. 2009. Halaman: 180-183
[9] Mohammad Asrori. Pikologi Pembelajaran. 2009. Halaman; 183-187
[10] Wasty Soemanto. Psikologi Pendidikan. 2012. Halaman 209-213

Tidak ada komentar:

Posting Komentar